Kamis, 22 Maret 2012

Pir atau Piro

Ada seorang Mandailing (bukan Batak, Mandailing adalah suku lain di daerah Selatan Sumut) merantau ke Jakarta, karena tidak berhasil mendapat kerja kantoran akhirnya si Mandailing ini berwirasta alias berjualan apa saja di pasar Manggarai, hari ini jualan sayur, besok jualan barang bekas, pokoknya apa saja yang memberikan untung.

Suatu hari si Mandailing ini berjualan pepaya, tengah hari datang seorang pembeli, kebetulan seorang Jawa pembantu rumah tangga yang baru datang di Jakarta, bahasa Indonesia-nya belum lancar. Sesuai instruksi majikan, si Jawa mencoba merasakan apakah pepaya yang dijual sudah masak atau belum. Dengan halus si Mandailing memperingati : “zangan keras-keras mas, supaya tidak penyok” (dengan logat Mandailing tentunya yang mirip dengan logat Batak). Setelah yakin bahwa pepaya yang mau dibeli sudah matang, si Jawa bertanya: “piro siji?”, si Mandailing heran dan tidak mengerti dan dia menjawab: “tidak keras mas ... lunak kok, coba lagi” (pir -dari piro- dalam bahasa Mandailing artinya keras).

“Ya ..... piro siji?”, si Jawa bertanya lagi, mulai keheranan.
“Tidak keras mas .... coba lagi”, si Mandailing menjelaskan lagi dengan nada mulai meninggi.
“Lha iya ...... piro?”, si Jawa bertanya lagi, tambah heran.

Misunderstanding terus berlanjut, si Mandailing makin marah dan si Jawa makin heran. Akhirnya si Mandailing bilang : “sudah kubilan lunak ... keras (pir) kau bilang .... lihat ini .....”, si Mandailing menonjok pepayanya sampai hancur.

“Dasar zawa .... sekarang kau mau apa?!”, tantang si Mandailing. Si Jawa kita terpaksa lari terbirit-birit.

Tidak ada komentar: