Di kelas aku jadi sering melamun, membayangkan waktu aku
menyelusuri seluruh permukaan dada Tante dengan mulut dan lidahku.
Membayangkan bagaimana kelaminku secara perlahan memasukinya… Bel tanda
pulang berbunyi. Aku bersorak. Ingat ke rumah, ingat malam ini Tante
menjadi milikku. Akan kureguk semua kenikmatan dari tubuh Tante.
Pokoknya nanti akan kunikmati seluruhnya, mulai dari ujung rambut sampai
ujung kaki, sampai puas. Memang aku bisa puas, tapi bagaimana dengan
Tante ? Dua kali aku berhubungan kelamin dengan Tante, dua-duanya aku
bisa mengeluarkan spermaku ke dalam lubang kelamin Tante, sampai puncak,
sampai puas. Tapi Tante tidak. Aku jadi cemas, jangan-jangan nanti aku
juga begitu.
Tapi aku ingat, yang kedua kemarin tante
bilang aku ada kemajuan. Hal ini sedikit menghiburku. Mudah-mudahan yang
ketiga nanti dengan bertambahnya pengalamanku, ada kemajuan lagi. Aku
agak tenang sekarang. Di rumah sepi-sepi saja. Tak ada siapapun, juga
Tante. Aku makan siang sendirian. Tante mungkin ada di kamar, pintu
kamarnya tertutup. Kuselesaikan makan siangku dengan cepat, lalu duduk
saja di meja makan, berharap Tante akan keluar dari kamarnya. Setengah
jam berlalu, masih sendiri. Aku ke ruang keluarga nonton TV. Duduk di
sofa lalu ingat, kemarin di sini aku menikmati buah dada Tante dengan
tuntas. Diam-diam punyaku mulai tegak, padahal hanya membayangkan yang
kemarin. Ditambah lagi acara TV menyajikan fashion show di Sydney,
Australia. Peragawati cantik-cantik yang berlenggok di catwalk itu
umumnya tak memakai kutang. Kalau model bajunya berdada rendah, belahan
dadanya jelas. Kalau bahannya tipis, putingnya menonjol. Apalagi
peragawati yang punya dada besar, buahnya berguncang waktu ia
melenggang. Aku tambah tegang, makin pusing karena terangsang. Oh. Tante
sayang, kemanakah engkau. Aku membutuhkanmu sekarang! Tiba-tiba pintu
kamar Tante terbuka. Aku menoleh. Kepala Tante nongol memberi isyarat
padaku dengan mengangguk-angguk. Nasibku memang beruntung. Jelas ini
isyarat ajakan masuk. Tapi masak di kamar itu, kamar pribadi Oom dan
Tante. Aku ragu, bengong saja belum bereaksi atas isyaratnya. Sekali
lagi Tante mengangguk, kali ini sambil mengedipkan kedua matanya.
Dengan pasti aku melangkah menuju kamarnya.
Kepala Tante lenyap. Aku masuk langsung menutup pintu kamarnya dan
mengunci. Di ranjang besar itu Tante terlentang. Mengenakan baju tidur
tipis, sehingga samar-samar celana dalam dan kutangnya terlihat. Matanya
sayu memandangku, berkaca-kaca. Kutang itu bergerak naik-turun
menandakan nafas Tante sudah memburu. Aku tak tahan melihat pemandangan
yang menggairahkan ini, segera saja aku menghampirinya. Tapi… “Tunggu
dulu. Buka dulu dong, pakaianmu” perintahnya. Okey, tanpa dimintapun aku
akan membuka. Sementara aku membuka pakaian sampai telanjang bulat,
Tante memelorotkan celana dalamnya dengan posisi masih terlentang. Kini
di balik baju tidur tipis itu nampak rambut-rambut halus yang
menggemaskan itu. Belum sempat aku bergerak, ada lagi ‘ulah’ Tante.
Ditariknya gaun tidur tipis itu perlahan, memperlihatkan paha bulat itu.
Ditarik lagi keatas sampai pusarnya nongol. Kelamin berambut halus dan
perutnya terbuka terhidang di depanku. Luar biasa. Tante menyajikan
’strip tease show’ di depanku! Ada-ada saja Tante ini. Dengan ’senjata’
yang tegak keras aku menghampiri tubuh indah ini. Kucium rambut-rambut
halus itu sebentar. Gemasnya aku. “Aaaaaaaahhhh” teriak Tante. Aku
berpindah ke atas, kulumat bibirnya sambil meremas sebelah dadanya.
Kutang itu perlu disingkirkan dulu seharusnya, tapi aku tak sempat.
Tanganku sebelah lagi bergerak ke bawah. Eh, Tante sudah basah! Benjolan
dan pintu itu licin. “Hhhhhhhhmmmmmmmm..” Tante tak mampu melenguh
karena bibirnya aku kunci dengan bibirku. Disingkirkannya tanganku yang
sedang asyik di bawah, dipegangnya kelaminku, lalu diarahkannya ke
‘pintu’. Rupanya Tante ingin memulai sekarang. Mungkin sama dengan aku,
sudah sama-sama terangsang lebih dulu sebelum bergumul. Aku terrangsang
oleh bayanganku dan peragawati tadi, Tante terangsang entah oleh apa.
Aku mulai ‘masuk’ “Aduhh! Pelan-pelan, To!” Tante mengaduh, memang
masukku tadi agak kasar. “Maaf Tante, habis engga tahan sih..”kataku
tersengal. Kamipun saling menggenjot. Lucu kelihatannya kali ini. Tante
masih mengenakan gaun tidur dan kutangnya, kelamin kami sudah saling
pagut… Hasilnya, seperti kemarin. Aku ‘keluar’ lebih dulu, sementara
Tante belum terpuaskan benar. Kentara dari pinggulnya yang masih mencoba
menggoyang sambil kakinya menjepit pinggangku. Kembali aku kecewa.
Kalau kelaminku sudah bergesekan dengan kelamin Tante, disamping rasa
nikmat, juga rasa geli luar biasa. Jika sudah geli begitu, aku tak
sanggup lagi menahan untuk jangan sampai ke puncak dulu.
Kembali aku gagal memuaskan Tante. Kembali
aku berusaha menetralkan suasana yang tak enak ini. Kuelus buah dada
yang putingnya masih tegang itu dengan penuh perasaan, lalu kucium
perlahan. Tante mengusap kepalaku. Kucium pipinya dengan mesra.
“Tante..” “Hmmm” “Saya..engga..” “Udahlah..Tante tahu. Kamu engga usah
merasa apa-apa. Tante maklum kok. Kamu tadi lumayan, sudah ada kemajuan”
“Tapi Tante kan belum …” “Engga usah kamu pikirin. Tante mengerti”
katanya menentramkan sambil mengelus-elus dadaku. “Saya engga bisa
bertahan lama, Tante” “Sudah lumayan, kok. Tante tadi juga merasa
nikmat. Kamu udah mulai pintar mengocok tadi” “Saya bisa merasakan Tante
tadi belum puas” “Iya, memang wanita membutuhkan waktu yang lebih lama
dibanding laki-laki. Tapi kamu tadi ada kemajuan dibanding kemarin” “Tak
adil rasanya. Saya merasakan kenikmatan luar biasa, sedangkan Tante
belum” “Sudahlah, To. Tak perlu kamu pikirkan. Tante mengerti” “Terima
kasih Tante” Kupeluk tubuhnya erat. Erat sekali. Diciumnya pipiku, lalu
merebahkan kepalanya di dadaku. Aku mengelus rambutnya. “Tubuhmu atletis
sekali. Dadamu bidang” katanya sambil tangannya menelusuri dadaku.
“Iya, Tante. Dulu saya kerja di kebun. Saya juga sering olahraga”
Tiba-tiba tangan Tante ke bawah menggenggam punyaku. “Kelaminmu besar
sekali” “Ah, masa Tante. Saya kira biasa-biasa saja” “Apalagi kalau lagi
tegang”. Kulirik punyaku, sudah agak surut. “Tubuh Tante luar biasa”
balasku. “Kalau lagi tegang keras dan panas” komentarnya lagi masih
tentang penisku, mengabaikan pujianku. “Buah dada Tante indah sekali”
“Ah, masa. Dibanding punya siapa” pancingnya. “Siapa saja” Aku pura-pura
terpancing. “Berarti kamu sering lihat buah dada, ya” Kubalikkan
badannya. “Besar, bulat, kenyal, putih, licin, halus lagi” kataku sambil
melihat dekat-dekat buah itu. “Buah dada siapa yang kamu lihat”
tanyanya sambil menggoyang-goyang kelaminku yang masih berada
digenggamannya. “Cuma baru ini” jawabku sambil mulai merabai permukaan
dadanya. “Jujur aja, To. Dada siapa yang pernah kamu lihat” katanya
lagi. Tante penasaran rupanya. “Sungguh mati Tante. Cuma punya Tante
yang pernah saya lihat” “Yang bener, To” tangannya tidak menggenggam
lagi, tapi mengelus kelaminku. “Benar Tante” “Kok tahu bagus ?” “Saya
hanya lihat punya teman-teman sekolah. Itupun dari luar” “Pernah kamu
pegang ?” Tangannya masih mengelus, aku mulai terangsang. “Ih, engga
lah, Tante. Bisa gempar, dong” “Jadi, tahunya punya Tante bagus, dari
mana ?” “Pokoknya, dari luar, punya Tante paling besar” Ujung jariku
mempermainkan putingnya. Putting itu mulai mengeras. “Tante” “Hmm ?”
“Apa setiap buah dada ujungnya begini ?’ “Begini gimana” “Panjang,
mungil, tapi keras” “Mungkin. Punyamu mulai keras” Aku seperti
disadarkan. Memang aku sudah terangsang akibat percakapan tentang dada
dan elusan Tante pada kelaminku. Aku mau lagi. Kenapa tidak ? Mumpung
masih ada kesempatan. Oom Ton paling cepat besok siang pulangnya.
Segera saja kukulum putting yang sejak tadi
kupermainkan. “Eeeeehhhhhmmmmmmm..” Tante melenguh panjang. Tanganku ke
bawah mencari-cari di antara ‘rambut-rambut’. Basah di sana. Kugosok
yang basah itu. “Uuhmmmm….Aaahhhhhhh..Uuhhmmmmm” desahnya agak keras,
mengikuti irama gosokanku. Kelaminku diremas-remas. Enak. “To…
Hhheeeehhhggh..sedap, To..Hhheeeeeghh” Tante makin ribut, aku khawatir
kalau sampai terdengar dari luar kamar. Ah, tak ada orang ini. Aku makin
giat menggosoki tonjolan kecil di bawah sana. Tante makin ribut,
menceracau tak karuan Gosok lagi. Teriak dia lagi. Akhirnya… “Udah,
To.ampun..Ayo To, sekarang To, sekarang…!” Aku bangkit. Kelaminku yang
sudah keras kupegang pangkalnya, kuarahkan. Tante membuka kakinya
lebar-lebar. Demikian lebarnya sampai kedua lututnya ke atas,
menyuguhkan kelaminnya yang membasah, tepat di depan kelaminku. Aku
masuk. Kudorong perlahan. “Oooohhh, To..sedapnya….” Sudah tenggelam
separoh. Kudorong lagi. “Aduuuuhhhh, mamaaaa, nikmatnya…” teriaknya
lagi. Kudorong lagi. Sudah masuk seluruhnya. Kurebahkan tubuhku menindih
tubuhnya. Tanganku ke belakang punggungnya. Kudekap erat tubuhnya, lalu
aku mulai menggenjot. Sedaaaaaaaapp. Bertumpu pada kedua lututku, aku
menarik dan mendorong pinggulku. Nikmaaaaaaaaaattt. Entah kata apa saja
yang keluar dari mulut Tante aku tak peduli. Terus saja menggenjot,
naik-turun, keluar-masuk. Aku nikmati benar gesekan kelaminku pada
dinding vagina Tante. Kadang selagi punyaku didalam, Tante “mengikat”
pahaku dengan kakinya sambil memutar pantatnya. Kurasakan sentuhan
seluruh relung kelaminnya pada kelaminku. Luar biasa sedapnya.
“To…hhehh.kamu…hhehh..kok..hhehh..”Tante mencoba bicara disela-sela
nafasnya yang memburu. “Keenaapaa . hheehh.. Taanntee…hhehh”
“Kamu….kok…lama…” Baru aku menyadari, sudah puluhan kali kelaminku
kugenjot keluar- masuk-putar, tapi aku tak merasakan geli seperti
biasanya. Yang kurasakan hanya nikmat. Rasa geli yang tak bisa kutahan
yang kemudian membuat aku ke ‘puncak’, kali ini tak kurasakan! Heran!
“Engga …tahu.. Tante..” “To, Oh my God..heeeehhhhhh” “Enak…Tante…?”
“Wooow….luar biasa…” Genjot dan genjot lagi “Kamu..masih…lama..To..?”
“Masih…Tante.” Memang aku belum merasakan “geli menuju puncak” “Diam.
dulu,.. To” Aku menghentikan genjotanku. Posisiku masih “di dalam”.
Tangan Tante memeluk erat punggungku, sementara kakinya mengikat pahaku.
Lalu tubuhnya bergerak miring hendak merobohkan tubuhku. Aku bertahan,
tak tahu maksudnya. “Gantian, To…Tante di atas.” Baru aku tahu maksud
gerakan Tante ini. Kuikuti gerakannya, tapi.. “Jangan.sampai…lepasss”
Rupanya gerakan robohku terlalu cepat, sehingga kelaminku sedikit
tercabut. Untung Tante cepat mengimbangi gerakanku, hingga punyaku
“masuk lagi”. Sekarang kami sudah sempurna berbalik posisi. Tante yang
menindihku. Hanya sebentar. Tante lalu perlahan bangkit mendudukiku.
Kelamin kami tak terlepas. Tante mulai bergerak. Aneh, gerakannya
maju-mundur! Rasanya lain pula, tapi sama sedapnya! Dengan posisi begini
gesekannya terasa lain.
Kadang diputar, seperti diperas. Kadang
Tante “jongkok”, pantatnya naik-turun, sedap juga.
“Aaaahhhh..kamu..nakal” teriaknya ketika dia berjongkok membenamkan
kelaminku, aku mengangkat pantatku. Kedua tanganku diraih, dituntun ke
dadanya. Kuremas dada yang tambah licin kena keringat. Entah sudah
berapa lama akhirnya Tante capek juga. Dia rebahkan tubuhnya. Kupeluk.
Kumiringkan, aku ingin di atas lagi. Tante menurut. Dengan hati-hati
kami mengubah posisi, agar jangan terlepas. Aku berhasil.
“Kamu…udah..pintar..”pujinya. Dengan posisi di atas aku jadi bebas
menggenjot. Lagi-lagi Tante teriak. “Terus..To.., Tante…hampir…” Terus.
Tusukanku makin menggila. Teriakannya makin keras. Rasa geli datang,
dimulai dari ujung penis, terus menjalar ke seluruh tubuh. Makin geli.
Makin cepat aku menarik-tusuk. Kesemutan…mengambang..melayang..dan…….
“Aaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh….” Seeeerrr, denyut-denyut, seeerrr, bergetar,
serrrrr, berguncang..seer. Entah sudah berapa kali seerr, yang jelas
setiap kali keluar aku merasakan kenikmatan yang tak bisa kugambarkan
dengan kata-kata. Begitu nikmat. Aku sampai lupa memperhatikan tingkah
Tante. Badannya telah bergeser ke atas karena ku”dorong” dengan
tusukanku. Bantalnya bukan lagi di kepala, tapi di punggung. Sedangkan
kepala terkulai, mata melihat ke atas, bibir terkatub rapat seluruh
tubuh gemetaran. Teriakannya ? Tak perlu kuceritakan. Agak lama juga aku
dan Tante bergetaran begini, merasakan puncaknya kenikmatan hubungan
kelamin……. Lalu, hanya nafas kami berdua yang terdengar, seolah berebut
mengisap oksigen untuk mengembalikan enerji yang keluar. Lalu barangsur
pelan, makin beraturan. Tante masih “terkapar” Aku lunglai di atas
tubuhnya.
Ini keempat kalinya aku bersetubuh dengan
Tante. Yang terakhir inilah kurasakan sangat berbeda dibanding tiga kali
yang terdahulu. Lebih nikmat, lebih memuncak, lebih lama, lebih banyak
aku mengeluarkan “air”ku, lebih bergetar, pokoknya …..susah diceritakan.
Pengalaman baru tentang rasa nikmat. Dan lagi, mudah-mudahan
pengamatanku tak salah, Tante begitu menggelepar, mengerang, teriak,
berbeda dengan sebelumnya, Tante kali ini kelihatan “selesai”. Semoga
begitu. “Ooh..To., kamu hebat” Diciumnya pipiku dengan gemasnya. “Apanya
yang hebat, Tante” “Kamu betul-betul lelaki” tambahnya “Memang dari
dulu saya laki-laki. Ini buktinya” Kusodorkan kelaminku, menusuk
perutnya. “Laki-laki yang jantan” diremasnya penisku dengan gemas. “Auu”
teriakku “To…luar biasa..” Tak putus-putusnya ia memujiku. “Enak engga
tadi, Tante ?” “Wow. bukan main. Sangat!” Kupeluk tubuhnya. Aku merasa
bahagia sekali. “Tante sayang..” Aku berbisik semesra mungkin. Agak
kaget Tante memandangku, lalu tersenyum. Manis sekali! “Ada apa ‘yang ?”
Wuih, mesra banget. Tante memanggilku ‘yang’. “Saya sayang Tante”
Kucium bibirnya. “Hhmmmmmmm” lenguhnya. “Kalau lama, enak sekali ya
Tante” “Kok kamu tadi bisa lama” “Engga tahu, Tante. Mungkin karena tadi
ronde kedua” “Atau mungkin karena kamu udah mulai pandai” “Yang pandai
gurunya” “Huuuu” cibirnya sambil mencubit tongkolku. Aku senang. “Guruku
yang cantik” Dicubitnya hidungku. “Dan berpengalaman” godaku lagi.
“Aaah, udahlah, To” Kami diam lagi. “To.” panggilnya tiba-tiba.
“Ya.sayang” “Jangan tinggalin Tante, Ya” “Oo, engga dong. Masa Tante
yang jelita begini mau ditinggalin” “Tante serius, To” “Saya juga
serius, Tante. Saya membutuhkan Tante. Saya ingin begini setiap hari,
Tante” “Saya butuh kamu” Nah ini baru pernyataan. Ini pernyataan baru.
Tante membutuhkanku ? Bukankan ia punya suami ? “Oom Ton gimana Tante”
Tiba-tiba wajah Tante berubah, agak sedih kulihat. “Tante….ah engga.
Pokoknya kita harus hati-hati, To. Ingat pesanku ‘kan ? Tante juga
senang kita bisa begini terus. Tapi hati-hati, ya ?” “Pasti, Tante. Saya
akan hati-hati. Tapi Tante mau kan, tiap hari” “Nanti kamu bosan” “Saya
sudah bilang, Tarto sayang Tante. Tarto butuh Tante. Tarto ingin
menikmati setiap hari. Tadi Tante bilang membutuhkan Tarto. Maksudnya
gimana Tante ?” “Iya.sama seperti kamu, Tante juga ingin setiap hari”
Klop ‘kan ? Keinginan yang sama, saling membutuhkan, saling memuaskan,
dan….saling menyayangi. Apakah ini yang dinamakan cinta ? Ya, apakah
kami saling mencintai ? Aku memang tak ingin kehilangan Tante, tapi
Tante sendiri bagaimana ? Apakah ia membutuhkanku karena mencintai
keponakannya ini ? Atau karena aku baru saja memuaskannya ? Bagaimana
dengan suaminya ? Jangan-jangan ia tak mendapatkan kepuasan dari Oom Ton
? Aku ingin mendapatkan jawaban dari pertanyaan terakhir ini, tapi mana
berani aku menanyakan langsung kepada Tante. Ah, itu tak penting. Yang
penting, aku sekarang punya kekasih yang luar biasa, yang bisa membuatku
melayang-layang di puncak kenikmatan. Lelah benar aku malam ini.
Bayangkan, malam ini dua kali aku “bertempur”.
Terutama yang terakhir tadi, permainan lama
yang betul-betul menguras tenagaku. Aku sekarang ingin istirahat. Masih
agak sempoyongan aku bangkit mengumpulkan pakaianku. “Mau ke mana To ?”
“Saya ingin tidur, Tante” “Sudah tidur sini aja, temanin Tante” “Saya
senang sekali Tante, tapi besok Oom ‘kan pulang ?” “Paling cepat besok
siang” Aku memperhatikan Tante yang dengan malas bangkit. Tubuh wanita
ini memang luar biasa. Aku benar-benar beruntung mendapatkannya. Masih
telanjang bulat Tante berjalan menuju kamar mandi. Tak lepas mataku
menatapnya. “Kenapa, To” Tante merasa aku tatap begitu. “Tante memang
indah” kataku sambil bergantian menatap dada dan ‘rambut’ bawahnya.
“Kamu memang nakal. Sudahlah, bersih-bersih dulu baru kita tidur” Di
dalam kamar tidur Tante yang luas ini ada kamar mandi yang luas pula.
Ada dua wastafel cermin lebar, bath-tube, dan tempat untuk mengguyur
(douce) yang berpintu kaca agak buram. Di bath-tube kami saling
membersihkan, Tante menyabun tubuhku sementara aku mengguyur tubuhnya,
lalu gantian. Ah, mesra sekali. Lalu berdua kami tidur berpelukan
dibawah selimut yang hangat, tanpa pakaian. Tante yang punya ide begini.
Enak juga. Jam dinding menunjuk waktu 11.32. Dua ronde permainan makan
waktu hampir 3 jam. Pantas saja aku lelah. Dengan tergagap aku
terbangun. Dimana aku in ? Tante masih ada di pelukanku. Kulihat
sekeliling, ah aku tidur di kamar pribadi Oom Ton dan Tante Yani! Ada
rasa enak di bawah sana. Ooh, Tante sedang asyik mengelus-elus penisku
yang tegang. Setiap bangun pagi, tanpa dieluspun penisku memang tegang.
Elusan ini yang membuat aku terbangun.
Kulihat jam dinding, pukul 05.17. Ah ,
sudah pagi, aku harus siap-siap. Tapi Tante ini.. Tante memandangku,
tersenyum, seperti biasa : manis. “Punyamu udah keras, To” Buah dada itu
menyembul karena terpepet dadaku. Aku terangsang. Langsung saja aku
raih buah indah itu. Putingnya sudah keras. Kami berpagutan. Aku ingin
tahu kesiapan Tante pagi ini, tanganku ke bawah sana. Sudah basah
rupanya. Mengingat waktu, aku ingin segera mulai. Tantepun paham.
Kembali aku melakukan ‘pertempuran’ panjang melawan Tante. Rasanya jalan
ke puncak masih lama. Aku mempercepat “pompaan”ku Belum juga. Aku terus
melumat bibir Tante, mencegah “kicauan”nya yang makin keras, khawatir
terdengar Mar yang sangat mungkin sudah bangun. Ganti posisi Percepat
lagi. Hampir Ubah posisi Akhirnya, aku makin yakin seperti yang Tante
katakan, bahwa aku lelaki tulen, jantan, hebat…. Pagi yang melelahkan
sekaligus menyegarkan……! Tante memberikan bukti, bukan hanya janji.
Kami bersetubuh hampir tiap hari, kecuali
kalau Tante senam. Waktu yang dipilihnya adalah siang hari, waktu saya
baru pulang sekolah, di kamarku. Ini demi keamanan. Siang hari adalah
saat yang paling aman. Saat Si Mar sedang sibuk bekerja di belakang, Si
Luki bermain dengan pengasuhnya di rumah sebelah, dan saat Oom Ton belum
pulang kantor. Siang hari memberikan Tante cukup waktu untuk
membersihkan diri, menghilangkan “bekas”. Aku jauh dari bosan, seperti
yang dikhawatirkan Tante. Karena aku memang sangat menikmati hubungan
ini. Faktor lain yang membuat aku tak bosan adalah kreativitas Tante.
Seperti yang kukemukakan di awal tulisan ini, ada saja ide Tante untuk
membuat kejutan untukku setiap berhubungan kelamin. Entah itu posisi
berhubungan, atau acara “pembukaan”, tambahan ronde, dan lain-lain yang
membuat aku merasa “lain”. Pernah sekali waktu ketika aku pulang
sekolah, ia sudah siap di dipanku memakai selimutku sebatas dada dan tak
memakai apa-apa lagi di balik selimut itu. Kejutan yang membuatku
“terbakar”. Lain kali lagi ia memintaku “masuk” dari belakang. Bertumpu
pada lututnya ia ‘nungging’, aku bermain sambil memegangi pantatnya yang
bahenol itu. Saat yang lain lagi, kami ‘bertempur’ di atas meja
belajarku. Ia duduk di pinggiran meja membuka kaki, aku ‘masuk’ sambil
tetap berdiri. Pernah juga di kursi belajarku. Aku duduk di kursi yang
dirapatkan ke dinding, ia duduk di atas pahaku berhadapan. Dengan posisi
begini ia bebas “memilih” posisi tusukan kelaminku di vaginanya. Posisi
atau gaya apapun, yang jelas membuat kami berdua menuju puncak
bersamaan atau hampir berbarengan. Kejutan yang susah kulupakan serta
merupakan pengalaman baru bagiku adalah seperti yang akan kuceritakan di
bawah ini. Seperti yang sudah-sudah, pulang sekolah setelah ganti baju,
aku langsung menemui Tante meminta “jatah” bersetubuh. Aku sebut jatah
karena kalau malam hari Tante bukan milikku lagi, tapi jatah suaminya.
Siang itu ruang tengah sepi, Tante mungkin ada di kamarnya, kulihat
pintunya sedikit terbuka. Aku ingin masuk ke kamarnya, kali ini aku
ingin main di kamarnya, karena sejak “semalam 3 ronde” itu aku tak
pernah lagi making love di kamar itu, selalu di kamarku.
Kuperiksa keadaan sekeliling dulu. Aman.
Aku masuk kamarnya. Tante mengenakan kimono sedang mengikat rambutnya.
Kukunci pintu, kupeluk Tante dari belakang, menggerayangi. Tak ada
apa-apa lagi di balik kimono itu. “Hhmmmmm..sebentar ya ‘yang, Tante mau
mandi dulu” “Engga usah mandi juga Tante tetap wangi” kataku terus
menjelajahi tubuhnya. “Entar biar segar. Sabar dulu ya..” Aku
menghentikan aksiku. “Saya ikut mandi Tante” kataku bercanda. “Ayolah,
kita mandi bareng” Tak kusangka Tante menganggapnya serius. Ayo, kalau
begitu. Aku langsung bertelanjang, menuntun Tante memasuku kamar mandi.
Tante membuka kimononya, bertelanjang bulat juga, masuk ke ruang douce.
Tak bosan-bosannya aku memandangi tubuh indah ini, padahal hampir tiap
siang aku menggumulinya. “Ayo, To” ajaknya. “Kita main di sini Tante ?”
nakalku timbul. “Hush, sekarang kita mandi dulu, kapan-kapan bolehlah”
Tanganku yang bersabun menggosoki dadanya. Di bagian putting sengaja
kutekan-tekan. Tante juga menggosok dadaku dengan sabun. Lalu perutnya,
dan ke bawah lagi. Tangan Tante juga ke bawah. Diusapnya dengan sabun
‘rambut’ bawahku, kemudian dipegangnya batang kelaminku, digosok juga.
Karuan saja batang itu membesar. “Hiiiiii, bangunnya cepet bener” Aku
menikmati gosokannya. Tante benar-benar teliti, semua bagian dari alat
vitalku itu dibersihkan dengan sabun lalu diguyur. Enak. Aku
ikut-ikutan. Seluruh bagian kelaminnya aku bersihkan. Kalau aku lagi
menggosok “pintu” kelaminnya, kulihat mata Tante merem-melek keenakan.
Selesai mengeringkan badan aku langsung menubruk Tante. “Heee, jangan
disini To, ingat dong” Oh ya. Siang begini terkadang si Luki suka masuk
ke kamar, tentu diikuti si Tinah. Berbahaya. Aku berpakaian, hanya
pakaian luar saja, pakaian dalam aku bawa, menyingkat waktu. “Hiiiii,
lucu.” kata Tante mengomentari tonjolan di celanaku. Tantepun hanya
memakai daster, tanpa pakaian dalam.
Aku masuk kamarku duluan, langsung
berbugil. Sejurus kemudian Tante menyusul, juga langsung bertelanjang
bulat. Kami langsung bersatu, saling raba dan saling pagut. Kali ini
mungkin tak ada kejutan yang dibuat Tante. Atau ya itu tadi, mandi dulu
sebelum main. Betul juga kata Tante, lebih segar. Aku meringkik kegelian
ketika Tante menciumi pusarku. Ini mungkin kejutannya, tak biasanya
Tante begitu. Tapi, Tante terus ke bawah menciumi ‘rambut’ku. Lebih
kaget lagi, tangannya menggenggam kelaminku dan mulai menciumi barang
yang sudah mengeras itu! Bukan main! Geli-geli nikmat. Bahkan..
“Aaaaaaaahhhh” aku mengerang ketika kepala penisku dimasukkan ke
mulutnya! Luar biasa nikmatnya. Ini rupanya mengapa Tante begitu teliti
membersihkan kelaminku waktu mandi tadi. “Tante…” Tante seolah tak
mendengar panggilanku, terus saja asyik melahap barangku. Tante sanggup
memasukkan barang itu hingga separohnya. Sewaktu di dalam, jelas
kurasakan lidah Tante ikut bermain menggelitiki penisku. Woooow sedapnya
tak terkira .! Sungguh ini pengalaman baru bagiku. Nikmatnya terasa
lain. Entah apa yang dirasakan oleh Tante. Kok mau-maunya ia melakukan
ini. Aku sih keenakan. Aku perhatikan bagaimana ia sibuk
mengeluarkan-memasukkan penisku, kepalanya naik-turun berirama.
“Aaaahhhhhhh…hhmmmmmmmm…ssssshhhhhhhh..sed ap, .. Tante., …Tante..pintar
.sekali…” celotehku menahan nikmat. Bagaimana nanti kalau aku tak mampu
menahan diri ? Masa aku menyemprotkan spermaku ke mulut Tante ? Ah,
bagaimana nanti saja, yang penting sekarang….sedaaaaaaaaaap. Tiba-tiba
Tante melepas “makanan”nya, disapunya barangku dengan kain dasternya
yang tergeletak di dipan. Aku merasa kehilangan sesuatu. Dikeringkan.
Lalu…dikulum lagi…! Nikmaaaaat.. Dilepaskannya lagi, barangkali mau
dilap lagi. Ternyata tidak, badannya digeser sehingga kaki Tante
berpindah ke arah kepalaku. “To, .. ayo cium, To..”katanya terengah.
Sejenak aku bengong tak mengerti permintaannya. “Kamu cium ini…” katanya
kemudian sambil menunjuk ke selangkangannya. Okey, Tante, toh aku sudah
sering mencium ‘rambut-rambut’ halusmu itu. Aku mulai mencium. “Ke
bawah lagi, dong To..” Ke bawah ? berarti disitunya ? Hal baru, kenapa
tidak ? Kucium tonjolan kecil yang sudah keras itu. Asin rasanya.
“Aaaaaaaahhhhhhhh, sedap To, terus…”
Kini lidahku yang menyapu-nyapu pintu dan
tonjolan tadi “Yaaaahhh. yaaaaaa…begitu enak…” katanya sambil mulutnya
menyergap lagi batang kelaminku. Ada cairan yang asin rasanya. Di
kemudian hari aku baru tahu bahwa yang sedang aku dan Tante lakukan
sekarang ini namanya “posisi 69″ Dalam mengulum ini Tante pintar sekali,
banyak variasinya. Keluar-masuk, kadang menyedot-nyedot, bermain lidah,
sesekali menggigit (aku langsung teriak). Akupun diajarinya bermain.
Menggelitik ‘lubang’ dengan lidahku, menggigit kelentitnya (pelan, tentu
saja), menyapu bibirku ke “bibir”nya. Asyik juga bermain seperti ini.
Masing-masing sibuk, masing-masing merasakan nikmatnya. Entah sudah
berapa lama kami bermain begini. Untung saja aku berhasil menahan diri
untuk tidak keluar. Aku sekarang memiliki ketrampilan baru untuk
mengontrol diri, mengatur diri kapan saatnya ‘keluar’. Kalau tidak, masa
aku menyiram mulut Tante dengan maniku. Sampai akhirnya…. “Ayo,
To….sekarang.To….” Aku memutar tubuhku, sementara Tante rebah terlentang
membuka kakinya, siap menerima tusukanku. Aku masuk dengan gemas. Tante
menerima dengan antusias. Untuk kesekian kalinya kami saling
menggenjot. Bersama menuju puncak. Berbarengan menggelepar. Sudah itu
Sama-sama lemas Sama-sama puas.
Oh, betapa bahagianya aku. Kebutuhan lahir
dan batin terpenuhi. Kurang apa lagi ? *** Tak ada yang kurang pada diri
Tante. Cantik, putih, tubuh bagus, permainan di tempat tidur luar
biasa, dan kreatif. Kreativitas Tante tercermin dari cara bersetubuh.
Ada saja yang dilakukannya yang membuatku merasa bersetubuh dengan orang
baru. Selalu ada hal baru dalam setiap permainannya. Sejak Tante
memperkenalkan “posisi 69″, aku selalu minta dikulum penisku sebagai
acara pembukaan. Tante juga amat menikmati permainan lidahku di
vaginannya. Seperti biasa sepulang sekolah aku mendekati Tante untuk
melaksanakan ‘tugas’ rutin, bersetubuh. Aku sudah membuka resleting
celanaku, mengeluarkan penisku yang tegang di dekat Tante yang sedang
duduk di tepi ranjang, masih berpakaian lengkap, di kamar Tante yang
sudah kukunci. Yah, semacam pemberitahuan bahwa aku sudah siap. Tapi
tante menyambut dengan dingin, tak seperti biasanya. Ia hanya
mengelus-elus. Ketika dengan kurang ajar aku mendekatkan kelaminku ke
mulutnya, ia hanya mengecup lembut kepalanya, tidak dikulum seperti
biasanya, paling-paling hanya menggenggam. “Tante engga bisa sekarang,
To” “Kenapa Tante ?” “Tante lagi …itu..” “Lagi apa, Tante ?” “Lagi
mens.” “Mens ? Apa itu Tante ?” “Kamu engga tahu ?” “Bener, Tante. Saya
sungguh engga tahu” Memang aku tidak tahu. “Begini, setiap bulan wanita
yang sudah dewasa mengalami masa menstruasi.
Wanita yang normal pasti mengalami” Lalu
Tante memberiku kuliah tentang menstruasi itu. Bahkan ditunjukkannya
kepadaku celana dalamnya yang berbalut itu. “Kalau begitu, besok saja
ya, Tante” pertanyaan bodoh memang. “Engga bisa To. Masa mens biasanya
sekitar seminggu. Tapi kalau Tante sekitar 4 – 5 hari.” Wah, menunggu 4 –
5 hari, mana tahan ? “Tapi Tante, saya ingin …” “Engga, To. Sabar aja
ya, yang…” Aduh, pusing juga aku, keinginan sudah sampai ke kepala.
“Bagaimana kalau begini saja Tante..” Kataku sambil menempelkan penisku
ke bibir Tante, minta dikulum. “Engga bisa juga, To. Itu namanya kamu
egois. Kamu bisa puas, tapi kalau Tante terangsang, gimana ?” Benar juga
kata Tante. “Maafkan saya, Tante. Saya sungguh-sungguh belum tahu”
kataku sambil memeluknya dengan mesra. “Engga apa-apa, To. Tante maklum”
Dimasukkannya penisku, celana dalamku dibetulkan letaknya, lalu
ditutupnya resleting celanaku. Mesra sekali. “Awas, ya. Jangan cari
sasaran lain” katanya. Kucium kedua belah pipi Tante, dengan mesra juga.
“Engga dong, Tante. Emangnya apaan.” Ternyata ada yang belum aku
ketahui tentang wanita Sekarang masalahku, mana bisa aku menunggu 4 – 5
hari tanpa bersetubuh, setelah hampir tiap hari menikmati. Pulang
sekolah agak kaget aku mendapati Tante duduk di sofa, membaca. Kucium
pipinya. “Engga senam, ‘yang ?” “Engga, lagi banyak-banyaknya” “Apanya
yang banyak ?” “Ah, kamu. Ya mens-nya” Aku mengerti. Tapi berarti hilang
juga kesempatanku siang ini menyatroni mBak Mar. Paling tidak aku harus
menunggu 2 hari lagi, jadwal senam Tante berikutnya, atau menunggu
sampai Tante “bersih”.
Malamnya, terkantuk-kantuk aku menunggu Oom
Ton dan Tante masuk kamar. Pukul 10.15 mereka masih asyik menonton TV.
Aku masuk kamar duluan, gelisah. Setengah jam berikutnya kudengar TV
dimatikan, lampu tengah juga, lalu kudengar suara pintu ditutup dan
dikunci. *** Sengaja aku datang ke sekolah lebih pagi. Hari in ada
ulangan Fisika dan aku merasa belum siap. Di rumah aku tak bisa
konsentrasi belajar, ingatanku ke Tante melulu. Apalagi sekarang udah
beberapa hari aku tak bersetubuh, pusing aku, mana bisa belajar di
rumah. Pagi ini kesempatan terakhirku untuk belajar Fisika menghadapi
ulangan nanti. Belum banyak kawan yang datang, cuma ada Tono, Edi dan
Rika yang lagi ngrumpi. Dito belum nongol. Aku ambil bangku paling
belakang, mojok, lalu mencoba berkonsentrasi. Lumayanlah dalam setengah
jam aku bisa memecahkan soal-soal yang kuperkirakan akan keluar nanti.
Juga beberapa rumus sempat “masuk’ ke otakku, sampai seseorang datang
menghampiriku dengan senyuman yang amat manis. Yuli memang manis,
apalagi kalau senyum. Masih ingat dengan Yuli, pembaca ? Yuli teman
sekelasku yang kugambarkan badannya biasa-biasa saja, dadanya menonjol
wajar dan wajahnya manis. Akhir-akhir ini kami makin akrab, sebatas
dalam pelajaran lho! Sering saling meminjam buku catatan, diskusi
soal-soal PR, atau cuma ngomongin guru-guru. Makin dekat kurasakan Yuli
makin menarik, dadanya makin menonjol aja. Aku sudah berada di pelukan
Tante sih, jadi aku kurang memperhatikan Yuli. Entah ini hanya ge-er
saja, kulihat Yuli begitu ceria kalau berdekatan denganku. “Rajin bener.
belajar Fisika ya..?” tegurnya sambil duduk di sebelah kananku. “Ah
engga. Justru karena aku males, baru sempet belajar sekarang” sahutku
“Pinjam catatan Matematiknya dong Tar” “Matematik ? Kan entar ulangan
Fisika” “Iyyaa. Tapi kemarin gua engga sempet nyatet jawaban soal
kemarin” Aku ulurkan buku Matematik, sambil memgang tangannya. Yuli
membiarkan tanganku meremas tangannya, meskipun kemudian dia tarik
tangannya, without any words. Tanda “penerimaan”. Tangannya halus bener
.. Lalu dia dengan serius memelototi catatanku itu. Anak ini memang
serius banget kalau belajar. Mataku tak lepas memperhatikannya.
Dia mungkin tahu aku melihatnya, tapi
pura-pura tidak tahu. Ah .. Ini dia. Di sela-sela kancing bajunya, aku
sempat “mencuri” keindahan sebelah buah yang tumbuh di dadanya. Hanya
sedikit sih, tapi cukup membuatku “berdiri”. Apalagi daging itu terlihat
sedikit naik-turun seirama tarikan nafasnya. Ah seandainya ..khayalanku
melayang tinggi. Kuperiksa keadaan sekeliling. Masih sepi, memang masih
pagi sih. Hanya ada 2 kawan yang tadi, lagi asyik menulis. Sekaranglah
waktunya! Toh 2 teman tadi menghadap ke depan kelas, tak akan melihat
bila aku “menggarap” Yuli. Segera saja tangan kananku merangkul bahu
Yuli. Tak ada reaksi. Aksi kuteruskan dengan memegang dagu dan
menariknya. Mata Yuli sedikit membelalak, agak kaget mungkin, tapi tak
ada tanda-tanda penolakan. Ah. bibir merah membasah yang menggairahkan.
Kucium bibirnya. Dan … Yuli membalas ganas ciumanku..! Tanganku mulai
membuka kancing baju putih itu, lalu empat jariku menyusup ke balik
BH-nya. Halus, padat, dan lumayan besar. Aku meremas. Yuli melenguh.
Jariku mencari-cari putingnya. Mengeras. Tangannya kepangkuanku. Meremas
juga. Sambil masih berciuman, aku melirik dua temanku tadi, mereka
masih tak acuh sibuk sendiri. Aman! Bibirku menelusuri lehernya yang
licin, terus kebawah. Kancing bajunya sudah terbuka semuanya. Kulepas
baju seragamnya, lalu kudorong Yuli hingga rebah di bangku sekolah! Aku
menindihnya hingga tubuh kami “lenyap” dari pandangan teman-teman tadi
kalau mereka menengok ke belakang. Kuciumi habis-habisan kedua bukit
perawan itu. Aku yakin bukit kembar ini belum tersentuh oleh “pendaki”
manapun. Keras, dan padat. Aku tak sanggup menahan lagi. Walaupun
pakaianku masih lengkap nempel di badan, tapi meriamku sudah nongol
tegak dari rits celana, siap.
Kusingkap rok abu-abu itu jauh-jauh ke
atas. Kupelorotkan celana dalam krem-nya… Amboi … bulu-bulu halus,
merata di seluruh permukaan kewanitaanya.. Luar biasa.. Masa aku kerjain
di sini, di kelas ? Biar saja. Kalau nanti ketangkap basah gimana ?
Peduli amat. Kalau sudah begini, mana bisa “delay”, apalagi “cancel”.
Lagi pula Yuli sudah merintih-rintih sambil membuka pahanya agak lebar.
We got the point no return! Mulai sekarang ? Ya, tunggu apa lagi. BH-nya
masih nempel. Biar saja, tak ada waktu lagi. Kutempatkan penisku ke
“tempat yang layak”. Menyapu-nyapu sebentar di seputar pintu-basahnya,
lalu mulai menusuk. “Uuuuhhhhhh ..” Yuli melenguh. Mentok. Padahal baru
“kepala”ku yang tenggelam. Tusuk lagi dengan menambah tekanan.
“Aaaahhhhh .pelan ..pelan ..sakiiit…” Desahnya pelan dan terbata-bata.
Buset! Susah bener. Vagina yang satu ini sempit benar. Apa betul, Yuli
masih perawan .? Mungkin juga. Sebab biasanya kalau sama Tante Yani
tusukan begini sudah mampu mencapai “dasar”. Aku tusuk lagi lebih kuat,
bahkan sekuat tenagaku. Dan ….. “Heh! ngelamun aja!”kudengar suara agak
membentak. Suara Yuli! Aku tersadar. Aku kembali ke alam nyata. Kembali
dari lamunan nakal. Lamunan bersetubuh dengan gadis yang duduk di
sebelahku ini. Gadis yang baru saja mengagetanku! Ah.sialan. Kenapa aku
begini ? Gara-gara mengintip sedikit buah Yuli, aku jadi melayang.. ***
Hari berikutnya aku kurang beruntung. Tante ada di rumah mengajakku
ngobrol. Hanya ngobrol. Sayang sekali tubuh molek ini belum bisa
“dipakai”. Sembulan dada bagian atas Tante dan sedikit belahannya cukup
membuatku kepingin. “Tante…” panggilku dengan suara serak” “Hmm ?” “Saya
pengin, Tante” “Kamu itu, engga sabaran, engga pernah puas” “Bukan
begitu, Tante. Saya puas, puas sekali. Cuma ketagihan, habis enak sih.
Udah biasa setiap hari…” “Sabar, dong” katanya sambil menggenggam
selangkanganku. “Eh, udah keras..” katanya lagi. “Iya, Tante. Saya siap
setiap saat” kataku meniru iklan “Dasar…….! Dua hari lagi” “Lama
bener..” Besok siangnya lagi, ada kejutan baru untukku. Tidak bersetubuh
sih, tapi menyenangkan. Tante sedang duduk di sofa menyulam. Begitu
datang aku langsung menyingkirkan kain sulamannya, lalu kucium pipi dan
kemudian bibirnya. Aku langsung tahu bahwa dibalik gaun merah jambu,
warna kesukaannya, Tante tak memakai BH. “Mandi dulu sana, To” “Udah
bisa, Tante ?” tanyaku cerah. “Ih, kesitu aja pikiranmu. Belum, belum
bersih” jawabnya sambil menuntun tanganku ke bawah perutnya. Masih ada
pembalut di sana. “Jadi, gimana dong Tante” kuremas dadanya yang tak
berkutang. “Pokoknya kamu mandi dulu” Aku mandi dan mengganti baju
dengan penuh harap, barangkali ada kreativitas baru dari Tante. Aku
keluar kamar. Ini dia kejutannya. Tante masih duduk di situ, hanya
kancing gaunnya telah dibuka sampai perut, mempertontonkan sepasang buah
dada yang mengagumkan.
Luar biasa. Berani benar
Tante ini, bertelanjang dada di ruang tengah. Jelas belum bisa
bersetubuh, tapi kelakuan Tante ini menandakan ada permainan apa lagi
nih. Langsung saja kuserbu buah dada itu. “Eeeeehhhhmmmmmm” Dengan
gemasnya aku mengacak-acak buah indah itu dengan mulut dan tanganku.
Belum puas aku bermain dengan dada, Tante mendorongku sampai aku berdiri
di depannya. Lalu.Tante membuka kancing jeans-ku! “Tante… Si Mar
nanti…..” “Engga ada, lagi pergi…” Dibukanya resleting celanaku,
diturunkannya celana dalamku, lalu dikeluarkannya penisku yang langsung
tegang, digenggam pangkalnya, terus diciumi ‘kepala’-nya, lalu masuk
mulutnya! Ooooohhh, nikmat sekali permainan baru ini. Suasana baru.
Bayangkan. Di ruang tengah, berdua masih berpakaian, aku hanya
mengeluarkan kelaminku, Tante mengulumnya dengan bertelanjang dada! Oh,
indahnya dunia ini. “Ooohhhhhhhhh, Tante, …sedaaaaappp.” Kepala Tante
bergerak maju-mundur, sangat perlahan. Terasa sekali bibirnya menjepit
dan bergerak menelusuri permukaan penisku. “Tante..Tante…enaaaaaaaak,
Tante..” Tante terus saja. Tanganku dituntun ke buah dadanya. Aku sampai
lupa diri tak berbuat apa-apa pada Tante. Habis sedap sekali sih! Kedua
tanganku meremasi sepasang buah kenyal itu. Tante terus bekerja. Geli,
Tante…! Ya, geli. Aku hampir ke puncak. Entah mengapa kali ini aku cepat
mendaki. Mungkin karena pintarnya bibir dan lidah Tante merayapi
permukaan kulit kelaminku, atau karena suasana yang aneh ini. Aku tak
mampu menahan lebih lama lagi. Tante rupanya tahu kalau aku hampir
sampai, ia mempercepat gerakannya. Bagaimana kalau keluar, aku tak tega
kalau sampai menumpahi mulut Tante dengan spermaku. Segera..ya..segera
sampai…. Dilepasnya kulumannya, tangannya yang memegang sapu tangan
secepat kilat menutupi kelaminku dan digenggam. “Aaaaaaaaaahhhhhh”
sambil berteriak aku muncrat. Sedaaaaaaap. Tante meremas. Muncrat lagi,
enak, meremas lagi, muncrat, nikmat, remas, sedap, muncrat, remas….
Beberapa detik aku terbang, kakiku goyah, lalu mendarat ditubuh Tante.
Kucium mulutnya. Masih ada muncratan lagi, tertampung di saputangan. Ada
lagi, makin sedikit….. Beberapa saat aku masih menubruk Tante, ia masih
menggenggam dengan saputangan. “Terima kasih, Tante…” “Enak, To ?”
“Sedaaaaaaap, Tante. Tapi lebih nikmat ke sini…” jawabku sambil memegang
benda yang masih berpembalut itu. “Masih pusing ?” “Hilang, Tante.
Lepas sudah…” Keteganganku memang lepas. “Tante sendiri, gimana dong,
Tante ?” “Engga apa-apa. Ini ‘kan cuma membantu kamu” Kupeluk lagi Tante
lebih erat.
Aku makin sayang saja sama Tanteku ini.
“Terima kasih, Tante. Tarto makin sayang sama Tante” kataku jujur.
“Sudah, cuci dulu sana. Ih, banyaknya….” “Iya, habis sudah tiga hari
engga keluar.”. *** Sejak peristiwa ‘penguluman di ruang tengah’ kemarin
itu aku jadi makin berani ‘kurang ajar’ kepada Tante. Seperti siang
ini. Waktu Tante sedang duduk membaca di ruang tengah, aku mendekatinya
dari belakang dengan kelaminku sudah kukeluarkan, terjulur kutempelkan
di pipi Tante. “He, ngawur kamu.!” Tante kaget. Ditariknya punyaku.
“Aauuu” aku teriak. “Masukkin, engga aman!” “Iya Tante, saya tahu. Cuma
bercanda” Di hari berikutnya Tante membalas. Sewaktu aku sedang makan
siang sendiri, Tante mendekatiku, sangat dekat sehingga perutnya hanya
berjarak beberapa senti dari pipiku. Kucium bawah perutnya. Lalu Tante
meraih tanganku, dimasukkan ke balik gaunnya, langsung vaginanya
terpegang. Tak ada celana dalam di balik gaun Tante. “Sudah bersih,
Tante ?” “Sudah..” Kuangkat gaun itu sehingga ‘rambut’ yang menggemaskan
itu nampak. Aku langsung tegang, berarti siang ini bisa. Aku langsung
berdiri meninggalkan makanku, memeluknya. “Tunggu dulu” kata Tante
sambil mendorongku terduduk kembali. “Kali ini Oommu dulu, ya..” Katanya
sambil meninggalkanku masuk ke kamarnya. Kurang ajar! Oom Ton ada di
kamar. Seharusnya aku tahu, mobilnya ada di garasi. Tante masih sempat
melihatku sambil tersenyum, sebelum ia mengunci kamar. Aku makin tegang
ketika setengah jam kemudian lamat-lamat mendengar suara erangan Tante
dari kamar.. Aku masuk kamar, tak tahan di situ. Tante sudah selesai
mens-nya, seharusnya siang ini ia milikku. Tapi Oom Ton merebutnya.
Merebut ? Memang Oom Ton pemilik sah. Aku gagal mencoba berkonsentrasi
membaca Fisika, besok ulangan. Bayangan Tante disetubuhi suaminya yang
muncul. Ah, sialan.. Setelah mencoba menyadari posisiku, aku jadi agak
tenang. Aku ‘kan hanya kemenakannya yang dibantu, lahir dan batin,
kenapa musti sewot ? Kelaminku mulai surut. Tapi itu tak lama. Tiba-tiba
Tante masuk, langsung mengunci pintu kamarku. Disodorkan buah dadanya
ke mulutku. Buah itu masih berkeringat, juga wajahnya. Tak peduli. Aku
serbu dada itu, masih duduk di kursi belajarku. Kelaminku langsung
membesar lagi.
Tante dengan tergopoh-gopoh membuka
resleting celanaku, mengeluarkan isinya yang sudah keras menjulang. Ia
melangkah naik ke pahaku. Mengarahkan kelaminku ke vaginanya,
dan….blessss aku langsung masuk…! Gila! Tanpa pemanasan dulu Tante
langsung main. Di kursi lagi. Untung aku cepat siap. Jadilah kami
‘berkudaan’ di kursi. Tante semangat sekali nampaknya. Dengan posisi
berpangku berhadapan ia di atas, Tante leluasa mengeksplorasi penisku.
Aku lebih pasif. Hanya kadang-kadang saja menusuk, soalnya berat, harus
mengangkat tubuhnya dengan pinggulku. Edan! Setengah jam yang lalu aku
mendengar Tante mengerang di kamarnya bersama Oom Ton, sekarang ia
berkudaan denganku, sementara suaminya (mungkin) sedang pulas di kamar
sebelah! Seakan ia tak ada puasnya. Atau jangan-jangan ia belum puas
dengan suaminya lantas melanjutkan di sini ? Hanya Tante yang tahu.
Betapa trampilnya ia menggenjot. Vaginanya begitu menjepit dan mengurut
penisku, berulang-ulang. Begitu rupa ia menstimulasi kelaminku, membuat
aku cepat naik. Geli sekali. Makin cepat dia, makin geli aku. Tiba-tiba
tangannya mencekram kepalaku kuat sekali. Tubuhnya bergetar hebat,
mengejang. Di dalam sana berdenyut-denyut. Bahuku digigitnya. Getaran
tubuhnya makin hebat, lalu mendadak berhenti menggenjot. Mengerang.
Tante sedang melayang di puncak.. Akupun hampir sampai. Aku sekarang
yang menggenjot. Tante teriak. Vaginanya menjepitku teratur menandakan
Tante telah orgasme. Aku tak peduli, sebab aku belum, cuma hampir
sampai, terus menggenjot. Tante masih mencekeram erat, secara pasif
mengikuti gerakan tusukanku yang naik-turun, lalu…akupun mengejang,
melepas. Heran, Tante mengerang lagi, seharusnya aku yang teriak. Tante
ikut menikmati ejakulasiku. Sejurus kemudian kami diam, masih
berpelukan, Tante belum mencabut. Hanya nafas kami berdua yang masih
berkejaran. “Tante hebat…” aku membuka percakapan “Apanya yang hebat,
justru kamu yang hebat. Tante tadi ‘kan duluan” “Ah, kita hampir
bersamaan kok tadi” “Jadi apa maksudmu hebat” “Tante bisa dua kali
berturutan” “Ooh itu, engga juga sih..” “Tadi saya mendengar, waktu
Tante sama Oom” “Ah, masa.?” “Iya, Tante mengerang, saya jadi ngiri.”
“Kan kamu dapat juga” “Itulah makanya Tante bisa dua kali” “Kamu juga
bisa dua kali, waktu malam itu.” “Iya, tapi ‘kan ada jarak waktu”
“Sebenarnya Tante tadi cuma sekali” “Yang benar, Tante. Barusan Tante
‘kan sampai puncak..” “Iya. Cuma itu. Sama kamu” “Tadi sama Oom..” aku
mulai menyelidik tentan hubungan Oom dan Tanteku ini. Tante diam saja.
“Kok diam, Tante” aku benar-benar ingin tahu. “Ini kan masalah Tante
dengan Oom-mu, rahasia dong” “Please, Tante, cerita dong. Tante kan
isteri ku juga” buah dadanya kucium, putingnya masih keras. “Kamu engga
usah tahu” “Ayolah, Tante” Tante diam lagi agak lama. Lalu…. “Sama Oommu
Tante belum sampai …..” Kaget juga aku. Jadi, tak berhasil orgasme
dengan suaminya lalu melanjutkan denganku. “Ah masa, Tante” “Itulah
kenyataannya, To. Oom-mu engga bisa memuaskan Tante” Mungkin inilah
sebabnya, Tante tiap siang tak menolak aku setubuhi, bahkan menikmati.
“Pantesan……” “Pantesan apa ?” tanya Tante “Tadi Tante langsung masuk,
engga pemanasan dulu” “Tante tadi senewen, To.
Ada rasa menggantung, ada yang harus
dituntaskan” “Untung saya tadi udah siap” “Sory ya To…” “Engga apa-apa,
Tante. Saya tadi juga puas. Cuma lebih nikmat kalau pemanasan dulu”
“Kamu harus mulai terbiasa begini, To. Seperti yang Tante bilang dulu,
Tante butuh kamu. Jangan kaget kalau tiba-tiba Tante pengin. Tante harus
mencapai orgasme. Kalau tidak Tante bisa gila..” “Saya siap, Tante,
Betul. Kapanpun Tante butuh saya, silakan saja Tante. Saya juga
menikmatinya, Tante. Tanpa pemanasanpun saya engga apa-apa. Tadi saya
bilang begitu, itu hanya akan lebih nikmat kalau dengan pemanasan. Kalau
tidakpun engga apa-apa” “Syukurlah, To. Pemanasan gimana yang kamu
inginkan, To ?” “Seperti inilah Tante” jawabku sambil menciumi dadanya.
“Itu kalau kita sempat. Kalau kaya tadi, gimana ?” tanyanya lagi. “Kan
saya siap, Tante” “Iya sih. Maksud Tante supaya kamu lebih nikmat, kamu
perlu pemanasan” “Yang biasanya kita lakukan sudah dengan pemanasan
‘kan. Cuma tadi saja, yang tidak” jawabku sekenanya. Pertanyaan Tante
sulit kujawab. “Waktu kamu denger Tante sama Oom tadi, kamu gimana”
“Saya terangsang, Tante” “Okey, Tante ada ide buat pemanasan kamu, To.
Tapi ide gila, mungkin” “Silakan, Tante. Saya senang sekali. Tante
kreatif, saya menikmatinya” ‘Jangan kaget, ya. Kamu tahu kamar si Luki
?” “Tahu Tante” kamar Luki bersebelahan dengan kamar Tante. “Disitu kan
ada pintu yang tembus ke kamar Tante” “Saya engga perhatikan, Tante”
“Kalau kunci pintu itu Tante cabut, kamu bisa lihat ke kamar Tante dari
lubangnya….kamu ngerti apa yang Tante maksud ?” “Belum, Tante” “Lubang
kunci itu lurus ke tempat tidur..” Amboi. Berarti, kalau aku mengintip
lewat lubang itu, aku bisa lihat kejadian tempat tidur Tante.
Hubungannya dengan pemanasan, berarti….hebat, ide yang hebat. Kucium
bibir Tante dengan gemas. “Ide brilian! Setuju banget tante!” kataku
gembira. “Ntar dulu, setuju apa ?” “Aku akan mengintip Tante sama Oom,
sebagai pemanasan” “Kamu cerdas. Menurut kamu ini gila, engga” “Engga!
Saya mau Tante. Kita coba nanti malam ya.?” “Semangat banget”
“Pengalaman baru” Aku sangat ingin melihat bagaimana Tante melayani Oom,
bagaimana permainan Oom Ton! Tante diam lagi. Hanya sekejap, lalu. “To,
Tante ingin main sama kamu di tempat terbuka…” kaget lagi aku. Tempat
terbuka ? Aneh. Ini sih hebat banget. Aku ingat kemarin, Tante
mengulumiku di ruang tengah. Nikmat. “Ide Tante memang hebat-hebat. Saya
suka Tante. Tapi aman engga ? “Itu masalahnya” “Kita cari kesempatan,
Tante. Pasti nikmat deh” Tante pelan-pelan bangkit, melepas.
“Eeeeeeeeeehhhhhhhhh” lenguhnya mengiringi pencabutan ini.
Di pintu kamarku Tante nengok kanan-kiri
sebelum keluar. Aku ke kamar mandi. Selesai dari kamar mandi aku lihat
kamar Luki, kosong. Luki sedang dibawa pengasuhnya keluar. Pelan-pelan
aku masuk, hati-hati pintunya kukunci. Ini dia pintu penghubung tadi.
Aku mengintip. Tak melihat apa-apa, kuncinya masih menggantung. Aku
kecewa. Kuncinya hanya bisa dicabut dari arah kamar Tante. Ia harus
membantuku. Aku mencari Tante, lagi di kamarnya. Lebih baik aku makan
dulu sambil menunggu Tante keluar. Benar, Tante keluar, segar sekali
nampaknya. “Tante, cabut dulu kuncinya, saya mau coba” bisikku. Tante
tersenyum, masuk lagi ke kamarnya. Dari lubang kunci di kamar Luki aku
bisa melihat dengan jelas dari arah kaki, Oom sedang tidur pulas, hanya
bercelana tidur. Kubayangkan, dari arah bawah ini aku akan bisa lihat
kelamin mereka berdua, baik posisi ‘biasa’, Tante di bawah, atau Tante
di atas. Kecuali kalau mereka memutar posisi dengan kakinya ke arah
bantal, aku hanya bisa melihat kepala mereka, paling-paling dada Tante.
*** Malam itu sekitar pukul 10, aku sudah berada dalam kamar Luki yang
sudah pulas. Dari lubang kunci aku lihat mereka sedang membaca. Hanya
sekali-sekali mereka bicara. Oom Ton mengenakan pakaian tidur lengkap,
Tante memakai daster. Aku menyadari sebenarnya berbahaya aku disini.
Bisa saja tiba-tiba Oom membuka pintu ini untuk melihat anaknya. Jadi
setiap Oom bangkit, aku harus siap-siap. Kalau Tante sih, aku engga
perlu bereaksi. Tegang juga aku. Ah, ternyata Tante juga berpakaian
‘lengkap’. Sekarang aku bisa dengan jelas melihat celana dalam merah
jambu itu, karena Tante mengangkat sebelah kakinya. Kecil kemungkinannya
mereka akan main malam ini. Setengah jam aku capek menunggu, Oom
mematikan lampu baca, lalu tidur.
Kamar itu walaupun hanya diterangi lampu
tidur, tapi cukup jelas aku bisa melihat tubuh mereka. Dengan kecewa aku
kembali ke kamar dan tidur…. Esok siangnya, ketika kami baru saja
melaksanakan ‘tugas’ nikmat dan masih terlentang berdua tanpa busana,
kutanyakan pada Tante tentang semalam aku tak jadi menyaksikan
‘pertunjukan’ Tante dan Oom main. “Yaa.itulah To, Oom-mu memang jarang
meminta, paling dua kali atau bahkan cuma sekali seminggu. Makanya Tante
butuh ini” jawabnya sambil mencekal kelaminku. “Kenapa engga Tante yang
minta” “Ah, Tante ‘kan melayani Oom-mu” “Tak ada salahnya Tante yang
mulai” “Betul, memang. Tapi, sering Tante malah kecewa. Oom-mu kan
hobinya kerja, jadi mungkin capek. Lebih baik Oom-mu yang mulai, itu
artinya dia betul-betul butuh” “Sayang, memiliki badan sebagus ini tak
optimal dimanfaatkan” kataku sambil mengelus buah dadanya. Tak
bosan-bosannya aku pada buah kembar yang indah ini. “Sekarang sudah
optimal” “Ya. Dan sayalah yang beruntung” “Tante juga beruntung punya
kamu” Kamipun berpelukan erat. Kalau sudah begini, aku bisa lupa
semuanya. Lupa pada Yuli, Rika, atau mBak Mar. Aku berguling, jadi
menindihnya. Pahaku mendesak di antara pahanya. Penisku mencari-cari.
Dan….aku masuk lagi. “Heeeeh!’ Tante teriak kaget. Aku mendorong.
“Eeeeeeeehhhhhh” lenguhnya. Sekarang ia tak kaget lagi.
Aku menarik dan mendorong. Aku menikmati.
Tante juga. Aku tak ingat bahwa ia tanteku. Tante lupa bahwa aku
kemenakannya. Bahkan lupa bahwa kami berdua manusia. Begitu ‘gila’nya
kami bermain, kami lebih mirip hewan. Hewan yang sedang menikmati
reproduksi. Reproduksi bukan untuk mendapatkan keturunan, cuma untuk
kenikmatan. Dan..kenikmatan kami dapatkan secara bersamaan. Gila!
Sesiang ini kami telah dua kali bersetubuh! Memang edan. “Edan kamu,
To…” komentar sesudahnya. “Supaya optimal, Tante..” komentarku juga.
Kurasakan bagian dalam vaginanya berdenyut-denyut meremas penisku.
Permainan yang melelahkan. Aku jadi lemas, penisku jadi pegal.
Pegal-pegal nikmat ….!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar